Gilang menangis di depan kelas. Hari
ini dia dipanggil ke depan kelas dan mendapatkan ucapan dari Guru Wali Kelasnya
karena mendapatkan rangking satu. Sayang Ibunya yang seharusnya hadir saat itu
tidak ada. Padahal kemarin Ibu sudah berjanji akan hadir. Hatinya makin sedih
tatkala melihat temannya yang rangking dua dan tiga mendapat pelukan hangat
dari Ibu mereka.
Sampai pembagian rapor selesai
Ibunya tak kunjung datang. Gilang menunggu di depan kelas namun bukan Ibunya
yang datang melainkan Nenek.
Setelah mengambil rapor Gilang
dan sedikit berbasa-basi dengan Guru Wali Kelas Nenek kemudian menghampiri
Gilang. Nenek tahu apa yang dirasakan cucu satu-satunya itu.
“Jangan sedih, walaupun Ibumu tak
datang. Nenek bangga Gilang juara, sebagai hadiah Nenek akan mengajakmu membeli
mainan.”
![]() |
Credit |
Senyum Gilang mengembang. Bocah tujuh
tahun itu berjalan dengan semangat, seolah-olah lupa dia baru saja bersedih. Hari
itu Nenek memang sangat memanjakannya. Mereka membeli banyak sekali mainan
hingga hari menjelang sore Nenek baru ingat sesuatu.
Nenek membawa Gilang ke sebuah
tempat. Terdapat jembatan yang harus dilalui disitu. Tiba-tiba Gilang menangis
lagi, dia teringat akan ibunya lagi.
“Sewaktu kenaikan kelas kemarin Ibu
mengajakku melewati jembatan ini. Tapi kali ini tidak. Ibu dimana Nek?” Tangis Gilang pecah.
“Ayo Gilang, jangan menangis lagi
tapi kamu ingin segera bertemu dengan Ibumu?”
Gilang hanya mengangguk. Sebenarnya
dia ingin yang menuntunnya adalah Ibunya, walaupun Nenek juga sangat
menyayanginya tapi lain rasanya jika Ibu bersamanya.
“Ibumu berpesan supaya kamu
berdoa dulu di makam Kakek, makanya Nenek membawamu kesini, Nenek juga ingin
mendoakan Kakek.” Nenek menjelaskan.
Gilang menurut, dia berdoa
seperti yang pernah diajarkan Ibunya. Setelah selesai mereka kembali melewati
jembatan yang membuat Gilang bertanya-tanya tentang keberadaan Ibunya. Apakah ibunya
baik-baik saja? Ataukah Ibu sedang marah padanya? Namun Gilang tak dapat
menemukan jawaban atas pertanyaan yang dibuatnya sendiri.
Sepulang dari makam Kakek, Nenek
tidak langsung membawa Gilang pulang. Nenek membawanya ke sebuah rumah. Rumah
tempat merawat orang sakit, ya rumah sakit. Ada apa dengan Ibu? Tiba-tiba
jantung Gilang berdetak kencang.
“Ibuuuu….” Gilang menangis di
dekat Ibunya. Dia berada di sebuah kamar. Mata Ibu terpejam dan dia tidak
bergerak.
“Gilang…selamat ya…maaf Ibu tidak
bisa datang.” bisik Ibu.
“Jadi…Ibu tidak mati?” Ibu hanya
tertawa mendengar pertanyaan Gilang.
“Selamat ya Gilang sudah jadi
juara, dan selamat juga Gilang sudah jadi seorang Kakak.” Kata Ibu ketika
perawat membawa masuk bayi mungil.
Gilang terkejut, ah ya perut Ibunya sudah tidak besar lagi dan adik yang diceritakan Ibu kini sudah ada di hadapannya. Gilang memeluk ibunya lagi, menciumnya kemudian mencium Adiknya. Nenek tersenyum, begitu
juga Ayah yang baru pulang membeli makanan untuk mereka.
Tulisan ini untuk Prompt #19 Monday Flash Fiction